Sabtu, 31 Oktober 2015

Filosofi Sapu Lidi

Acapkali kita sering mendengar ungkapan dan keluh-kesah masyarakat kecil (wong cilik), ketika berhadapan dengan kedzaliman yang dialami oleh mereka. Mulai dari masalah kenaikan harga-harga barang kebutuhan akibat pemerintah yang menaikan harga BBM. Atau anak-anak mereka yang terpaksa putus sekolah akibat tidak mampu membayar mahalnya buku, seragam sekolah, dan lain-lain. Sampai pada masalah pengangguran yang dihadapi wong cilik akibat pemerintah membiarkan tenaga kerja dari luar negeri bebas masuk merebut lahan kerja yang seharusnya untuk rakyat negeri ini. Wong cilik hanya bisa berucap: “mau gimana lagi? Saya hanya orang kecil, tidak bisa berbuat apa-apa..”
            Sebenarnya ungkapan pasrah -atau lebih tepatnya ‘menyerah’- yang dilontarkan masyarakat kecil tidak perlu terjadi, jika kita mau belajar dan sedikit saja memperhatikan ada kekuatan besar dibalik wong cilik. Kekuatan besar itu bahkan akan mampu menumbangkan pengausa tiran.
            Anda tentu masih ingat meletusnya reformasi pada tahun 1998, gelombang manusia dan kekuatan besar yang diawali oleh para mahasiswa itu mampu menumbangkan penguasa saat itu (Presiden Suharto yang berkuasa selama 32 tahun). Satu manusia yang memiliki ‘kemauan’ untuk melakukan perubahan, apabila ‘kemauan’ untuk berubah ini dimiliki oleh masing-masing lapisan masyarakat maka kekuatan besar perubahan tidak akan mampu dibendung. Itulah filosofi sapu lidi, satu lidi tidak akan mampu untuk menyapu. Tapi dengan menyatukan banyak lidi dan mengikatnya dengan benar. Tentu dengan satu catatan, kekuatan perubahan tersebut tidak dengan melakukan anarkhisme dan kekerasan.
            Kemauan perubahan dari masyarakat harus ditempuh dengan cara-cara yang benar. Perubahan yang benar hanya dengan menerapkan aturan (syariat) Dzat Yang Maha Benar yakni Allah SWT. dan metode/ cara melakukan perubahan yang benar adalah dengan mengikuti metode perjuangan Nabi Muhammad SAW. yakni perubahan pemikiran tanpa kekerasan. Pemikiran untuk mau bangkit dan maju dengan mengikuti petunjuk hidup yang pasti kebenarannya (Al-Quran dan Sunnah).
            Nabi Muhammad SAW. adalah sebaik-baik contoh, beliau SAW berhasil merubah masyarakat yang bodoh (jahiliyah) menjadi masyarakat yang beradab dan maju. Rasulullah SAW memulai perubahan dengan menghimpun masyarakat kecil, membina dan mengkader dengan pemahaman yang benar. Inilah jalan perubahan yang harus kita tempuh, yakni dengan mengikuti metode perjuangan Nabi Muhammad SAW. melakukan perubahan tanpa kekerasan. Dengan amal jama’i (bersama-sama) terhimpun kekuatan besar yang akan mampu merubah, bukan dengan pasrah dan menyerah. Sekali lagi, filosofi sapu lidi adalah bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh. Bukan saatnya berkeluh-kesah, wong cilik harus bangkit dan bersatu. Bangkit untuk melawan kedzaliman yang menimpa mereka dan hanya dengan Islam sebagai satu-satunya solusi untuk meraih perubahan yang hakiki.
"Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri." (QS. Ar Ra'd 13: 11)

Al-fakir: Hasan 

Ruang Nasehat

Saat menikmati pentas wayang kulit ada kalimat berisi nasehat unik yang terucap dari mulut sang Dalang. Kalimat nasehat pada pembuka itu disebut dengan istilah anta wecana (gambaran yang akan dijalani), ini menjadi semacam standar atau pakem bagi sang Dalang dalam pementasan wayang kulit. Kalimat nasehat yang unik itu jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia kurang lebih berbunyi: ‘wayang ibarat manusia di alam jagad. Jika wayang mati masuk dalam kotak peti besok masih bisa dipakai lagi, namun jika manusia mati menerima pengadilan Tuhan (Allah SWT), siapa yang berbuat olo (jelek) akan masuk neraka, siapa yang berbuat becik (baik) akan masuk surga’.

Ini semacam filosofi dan nasehat yang sangat tepat untuk kehidupan kita. Saya ambil contoh kehebatan Gatot Kaca, dia terkenal dengan kesaktiannya ‘otot kawat, tulang besi’. Tapi, kehebatan yang fantastis itu  terjadi jika wayang dengan sosok yang dinamakan Gatot Kaca itu dipegang sang Dalang saat pentas wayang kulit berlangsung. Jika wayang kulit dengan tokoh Gatot Kaca itu tidak dipegang sang Dalang atau telah masuk kotak (peti) maka segala kehebatan, kesaktian dan kegagahannya akan hilang tak berguna. Sebuah gambaran untuk kita renungkan dan ambil pelajaran didalamnya. Ada kemiripan dalam kehidupan manusia dan cerita pewayangan. Saat kita saksikan ‘kehebatan dan kegagahan’ manusia dalam berbuat apa saja yang dia suka. Ada manusia dalam menjalani kehidupannya seperti Gatot Kaca, merasa memiliki kehebatan, memiliki pengaruh dan mempunyai ‘kesaktian’.

Berbuat dan bertingkah-laku semaunya, seolah tidak ada yang bisa menghalanginya. Tapi harus diingat, kesaktian Gatot Kaca hanya berlaku saat pentas wayang digelar, saat wayang tersebut masuk kotak (peti) maka ceritanya akan berbeda. Kehebatan manusia masih ada dan berlaku dalam ‘pentas’ kehidupan dunia ini saja. Namun jika sudah masuk ‘kotak (peti)’ alias mati, maka semua ‘kehebatan dan kesaktiannya’ akan hilang tak berguna. Dan akhir dari itu semua akan menghadap pengadilan Allah SWT, dimana manusia akan mempertanggung-jawabkan semua amal-perbuatannya.

Sebagai bahan renungan, ingatkah kita akan ‘cerita’ kehebatan Pak Soeharto? ‘kehebatan’ Presiden ke 2 itu sudah tidak nampak. Dulu, banyak orang takut akan pengaruh dan kekuatan Pak Harto. Lawan-lawan politiknya akan berpikir ulang dalam bertindak. Tapi sekarang Pak Harto telah mati, semua ‘kehebatan dan kesaktiannya’ telah ikut terkubur, masuk dalam kotak (peti) kematiannya. Tidakkah kita mengambil pelajaran ini?

Ingatkah kita akan cerita kekuasaan Muamar Qadafi Presiden Libia yang telah tumbang dan berakhir pada kematian yang mengenaskan? Siapa dulu yang tidak tahu kehebatan Muamar Qadafi? Berkuasa penuh, bergelimang harta dan dikawal tentara-tentara cantik. Namun, ‘pentas’ dan ‘pagelaran’ Muamar Qadafi telah usai dan berakhir. Kehebatan dan kegagahannya telah masuk ke dalam kotak (peti) kematiannya. Tidakkah kita mengambil pelajaran kisahnya yang belum lama terjadi itu?

Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati”. (QS. Al ‘Ankabut 29: 57)
“Maka pada hari itu seseorang tidak akan dirugikan sedikit pun dan kamu tidak dibalasi, kecuali dengan apa yang telah kamu kerjakan”. (QS. Yasin 36: 54)

Saat ini bagi kita yang tengah menjalani pentas kehidupan seharusnya bisa bersikap bijak dan tidak berbuat sombong dengan segala yang dimiliki. Kehebatan, kesaktian dan kegagahan manusia-manusia yang masih ada disekitar kita akan berakhir, akan punah, hilang saat mereka mati dan masuk ke dalam kotak (peti) kematiannya. Semoga kita bisa mengambil hikmah dan pelajaran yang baik untuk bekal kita saat semua ini berakhir dan mati. Dengan bekal iman, Islam dan amal sholeh (becik) dalam rangka menyiapkan diri menghadap pengadilan Gusti Allah. Semoga kelak di akhirat kita menerima buku catatan amal dengan tangan kanan sebagai tanda keselamatan menuju surga-Nya, amiin. Wallahu a’lam..



Al-fakir: Hasan