Kamis, 28 Juli 2011

Surat Terbuka untuk Bupati Bekasi








Surat Terbuka untuk Bupati Bekasi

Assalamu’alaikum warohmatulloh wabarokatuh

Segala puji hanya bagi Alloh SWT, memohon pertolongan dan ampunan kepadaNya dan hanya kepadaNya kita mengabdi. Kita berlindung kepada Alloh dari kejahatan diri kita dan kejelekan amal-amal kita.

Aku bersaksi tidak ada Illah yang berhak diibadahi secara benar melainkan hanya Alloh tiada sekutu baginya dan aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad SAW adalah hamba dan RosulNya.

Alloh SWT berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Alloh sebenar-benar taqwa kepadaNya, dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam” (QS. Ali-Imron:102)

Wahai hamba Alloh pejabat Negara yang mengaku beragama Islam (khususnya Bupati Bekasi), ingatlah akan firman Alloh SWT: Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.”(QS. Al Israa: 32)

Berdasarkan fakta yang ada diwilayah kabupaten Bekasi berupa banyaknya tempat perzinaan (warung remang-remang, cafĂ©, diskotik dan lain-lainnya) maka dengan ini saya mengingatkan dan menyeru kepada bapak Sa’dudin selaku Bupati Bekasi agar segara menutup selama-lamanya tempat perzinaan/ pelacuran tersebut! Penutupan tempat maksiat tersebut selayaknya bukan karena menghormati bulan Ramadhan saja, akan tetapi karena memang sudah sepantasnya, karena tempat maksiat tersebut telah melanggar Perda yang berlaku dan sudah barang tentu sangat melanggar Syariat Islam.

Demikian surat ini saya sampaikan tanpa panjang lebar dan basi-basi. Langkah dan tindakan nyata dari bapak Bupati Bekasi sangat kami harapkan. Sebagai penutup renungkanlah firman Alloh SWT: Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan”. (QS. At Tahriim: 6)

Ya Alloh saksikanlah hambaMu telah menyampaikan kebenaran.

Wassalu’alaikum warohmatulloh wabarokatuh.

Warga Kabupaten Bekasi

Hasan Ibnu Soleh

Minggu, 24 Juli 2011

PENETAPAN AWAL DAN AKHIR RAMADHAN


Metode Hisab, Lemah Bagai Sarang Laba-laba

Organisasi Muhammadiyah dan Persis menggunakan hitung-hitungan astronomi (hisab astronomi) dalam menetapkan hari raya, metode ini dianggap akurat dan sangat kecil kemungkinan kesalahannya.

Tetapi metode hisab astronomi sangat lemah karena Al-Quran dan as-sunnah tegas-tegas menyatakan bahwa metode yang benar dengan ”Melihat Hilal” dan ini berlaku selamanya. lihat 2 hal 36; juga 3 hal 12, juga 4 hal 282

Karena dalam metode hisab astronomi masih ada unsur dugaan (tidak pasti), kepastian adanya hilal atau tidak hanya dengan melihat hilal, bukan dengan menghitung kapan datangnya. Metode ru’yat mudah, sederhana dan bisa dilakukan dengan teknologi sangat rendah sekalipun. Yang penting, ahli ru’yat disamping seorang muslim yang adil, baligh dan berakal, juga seorang yang penglihatannya bagus, memahami metode ru’yat dan terpercaya (tsiqah). Jadi. tidak perlu alat yang canggih atau seorang ahli astronomi untuk menentukan hilal. Begitulah Allah swt memudahkan agama ini buat kaum muslimin, maka nikmat Tuhan mana yang kamu dustakan: fabiayyi aalaai rabbikumaa tukazzibaan.

Metode Ru’yat, Ini Pendapat yang Sahih

Metode ru’yat (pengamatan) dilakukan dengan melihat hilal di saat Maghrib menjelang, menggunakan mata telanjang atau dengan alat bantu. Metode ini adalah metode yang paling benar sesuai dengan Al-Quran dan as-sunnah.

Barangsiapa yang melihatnya (hilal) maka hendaknya ia berpuasa (Al-Baqarah 185).

Berpuasalah kalian apabila melihat hilal (Ramadhan) dan berbukalah kalian apabila melihat hilal (Syawwal). Lalu apabila mendung menghalangi kalian, maka sempurnakanlah hitungan sya’ban sampai tiga puluh hari (HR Bukhari & Muslim).

Bahwa seorang Arab Badui datang kepada Rasulullah saw seraya berkata:”'Saya telah melihat hilal (Ramadhan)”, Rasulullah saw lalu bertanya: ”Apakah kamu bersaksi bahwa tidak ada Ilah kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah”, Orang itu menjawab: ”Ya”, Kemudian Nabi saw menyerukan: ”Berpuasalah kalian” (HR Abu Dawud, An-Nasa`i, At-Tirmidzi dan Ibnu Majah dari Ibnu Abbas).

Ru’yat Lokal, Sudah Ketinggalan Zaman

Setelah kita memastikan bahwa metode hisab astronomi tidak sesuai dengan tuntunan Rasulullah saw dan memastikan bahwa metode ru’yat yang sahih. Sekarang tinggal satu masalah lagi, apakah menggunakan metode Ru’yat Lokal atau Global?

Ru’yat Lokal adalah hasil ru’yat yang hanya berlaku untuk daerah matla’ (daerah yang terlihat hilal), metode Ru’yat Lokal (matla’) berdasarkan Hadits Kuraib.

Kuraib ra meriwayatkan, ”Aku pergi ke Syam. Pada saat aku berada disana, muncullah hilal Ramadhan dan aku saksikan sendiri hilal itu pada malam Jum’at. Kemudian pada akhir bulan, aku datang kembali ke Madinah dan ditanyai oleh Ibnu Abbas ra, kemudian teringat olehnya hilal”, Katanya: ”Bilakah kalian melihat itu?”, ”Kami melihatnya pada malam Jum’at”, ujarku. ”Apakah engkau sendiri melihatnya?”, tanya Ibnu Abbas pula. ”Benar, jawabku. juga di lihat oleh orang banyak. Hingga mereka berpuasa, termasuk diantaranya Mu’awiyah”, ”Tetapi kami melihatnya malam Sabtu, kata Ibnu Abbas. Hingga kami akan terus berpuasa hingga cukup 30 hari entah kalau kelihatan sebelum itu”, ”Tidakkah cukup menurut engkau penglihatan dan berpuasanya Mu’awiyah?”, tanya aku. ”Tidak, ujarnya, Begitulah perintah Rasulullah saw kepada kami” (HR Ahmad, Muslim dan Tirmidzi).

Hadits ini hasan sahih dan gharib menurut kitab Fiqih Sunnah. lihat 1 hal 33-34; juga 3 hal 14

Hadits Kuraib merupakan ijtihad Ibnu Abbas ra dan bukanlah hadits dari Rasulullah saw, Ibnu Abbas ra berijtihad berdasarkan sabda Rasulullah saw: ”Berpuasalah kalian karena melihat hilal dan berbukalah karena melihatnya” Ijtihad Ibnu Abbas ra ini menyelisihi hadits yang diriwayatkan oleh jama’ah sahabat Anshar:

Mereka berkata: ”Hilal Syawal tertutup mendung lalu kami berpuasa pada pagi harinya. Lalu pada akhir hari ada kafilah datang lalu mereka bersaksi pada Rasulullah saw bahwa kemarin mereka telah melihat hilal lalu beliau menyuruh manusia berbuka pada hari itu juga dan agar mereka keluar untuk shalat ied pada pagi harinya” (HR Mutafaq’alaihi, kecuali Tirmidzi).

Ketika memperoleh kabar dari kafilah yang datang dari luar kota Madinah bahwa hilal telah terlihat di daerah lain, Rasulullah saw langsung memerintahkan para sahabat untuk berbuka pada sore itu juga, kemudian shalat ied besok paginya. Hadits Kuraib yang merupakan ijtihad Ibnu Abbas ra terbantahkan dengan hadits dari jama’ah sahabat Anshar, sehingga Ru’yat Lokal bukanlah pendapat yang kuat. lihat 4 hal 283-284

Ru’yat Lokal juga berdasarkan pendapat Imam Syafi’i dimana jika ada kesamaan matla’ (daerah yang terlihat hilal) maka wajib berpuasa untuk daerah itu saja, sementara umat yang berada di luar matla’ berlebaran sesuai dengan hasil ru’yat-nya sendiri. Radius matla’ ditetapkan oleh Imam Syafi’i sejauh 24 farsakh atau kira-kira 133 km (1 farsakh= 5,541 km), hal ini karena keterbatasan teknologi informasi saat itu (kuda yang berlari) dalam menyampaikan informasi ke daerah sekitar matla’. lihat 3 hal 13; juga 2 hal 35-36; juga 4 hal 282

Sementara dengan teknologi informasi saat ini dengan cepat bisa disebarkan hasil ru’yat ke seluruh negeri kaum muslimin, sehingga pendapat Imam Syafi’i tidak kuat lagi untuk kondisi saat ini, sesuai dengan ucapan terkenal Imam Syafi’i:

“Bila kalian menemukan dalam kitabku sesuatu yang berlainan dengan hadits Rasulullah saw, peganglah hadits Rasulullah saw itu dan tinggalkanlah pendapatku itu”

Ru’yat Global, Pendapat Mayoritas Imam Mazhab

Ru’yat Global adalah ru’yat yang berlaku untuk seluruh dunia. Jika suatu negeri kaum muslimin telah melihat hilal maka segera informasi ini disebarkan ke seluruh negeri-negeri kaum muslim yang lain, maka diseluruh dunia kaum muslimin berlebaran di saat yang sama. lihat 1, hal 33, juga 4 hal 280-281, juga 2 hal 35 Tidak ada lagi sekat-sekat batas negara dan suku bangsa (nasionalisme) karena begitulah aqidah Islam.

Hilal bisa saja tidak terlihat pada negeri yang waktunya lebih awal karena: 1) sudut derajat masih rendah atau 2) cuaca mendung. Sementara ketika bulan melewati negeri kaum muslimin berikutnya maka hilal memungkinkan bisa terlihat, sehingga kewajiban semua negeri kaum muslimin untuk mengikuti ketetapan negeri yang telah melihat hilal.

Jumhur 3 Imam Mazhab Imam Hanafi, Maliki dan Hanbali menganut Ru’yat Global, hanya Imam Syafi’i yang menganut Ru’yat Lokal (matla’). lihat 2 hal 35 Seperti telah dijelaskan di atas, pendapat Ru’yat Lokal Imam Syafi’i tidak sesuai lagi dengan perkembangan teknologi informasi saat ini.

Jika kita teliti lafadz hadits tentang melihat hilal maka kita temukan makna yang jelas tentang kebenaran Ru’yat Global. Lafadz haditsnya berbunyi demikian:

Shuumuu liru’yatihi wa afthiruu liru’yatihi fain ghubbbaya ’alaikum fa akmiluu ’iddata sya’baana tsalaatsiina yauman (rawahul bukhaarii wa muslim).

Dhamir jama’ah pada dua kata SHUUMUU (berpuasalah kalian) dan AFTHIRUU (berbukalah kalian) terdapat huruf WAWU yang menunjukkan bentuk jamak yang ditujukan kepada seluruh kaum muslimin.

Begitu juga lafadz RU’YATIHI (melihat bulan) terdapat huruf HA yang merupakan isim jinsi yang diidhafatkan (disandarkan) pada dhamir (kata ganti), artinya jika salah satu dari kalian melihat hilal maka berpuasa atau berbukalah. lihat 4 hal 281

Dengan demikian hadits di atas bermakna:

Berpuasalah kalian (semua kaum muslim) apabila (salah satu dari kalian) melihat hilal (Ramadhan) dan berbukalah kalian (semua kaum muslim) apabila (salah satu dari kalian) melihat hilal (Syawwal). Lalu apabila mendung menghalangi kalian, maka sempurnakanlah hitungan sya’ban sampai tiga puluh hari (HR Bukhari & Muslim).

Menurut Imam Syafi’i cukup satu orang laki-laki yang melihat hilal, sementara menurut Imam Hanafi, Maliki dan Hanbali minimal disaksikan oleh dua orang laki-laki. lihat 2 hal 38-39, juga 3 hal 20 Dalam hal ini tidak berlaku prinsip mayoritas (demokrasi), meskipun telah di sebar 25 titik pengamatan ru’yat tetapi jika satu atau dua orang melihat hilal maka seharusnya ditetapkan hilal sudah terlihat.

Wilayatul Hukmi, Apa Pula Ini?

Jika pendapat Imam Syafi’i dijalankan secara konsisten maka wilayah Indonesia terkotak-kotak menjadi banyak matla’ (ikhtilaaful mathaali’), sehingga memungkinkan berbeda-beda waktu berlebaran untuk masing-masing matla’.

Jika ru’yat dilakukan di Jakarta maka ketetapan hasil ru’yat hanya berlaku hingga radius 24 farsakh (133 km), artinya satu kesatuan matla’ hanya sampai daerah Anyer sedangkan Lampung, Palembang, Jateng, Jatim dan daerah lain harus melakukan ru’yat sendiri-sendiri.

Tercerai-berainya umat karena perbedaan matla’ diatasi dengan jalan kompromi berupa konsep ”Wilayatul Hukmi”, dimana hasil ru’yat berlaku untuk satu kesatuan hukum negara Indonesia. Dimana konsep wilayatul hukmi ini tidak mengikuti pendapat 3 Imam Mazhab (Imam Hanafi, Maliki dan Hanbali) yang menganut Ru’yat Global, juga tidak mengikuti pendapat Imam Syafi’i yang menganut Ru’yat Lokal. Jadi bukan pendapat siapa-siapa.

Khatimah

Dalam menetapkan 1 Syawal saja kaum muslimin dari berbagai negeri tidak kompak, bagaimana mungkin bisa menyelesaikan hal-hal yang lebih besar seperti: membebaskan negeri-negeri kaum muslimin Palestina, Afghanistan, Iraq, Kashmir, Chechnya dan Mindanao dari penjajahan zionis yahudi dan salibis; menghentikan penjarahan sumber daya alam oleh kafir barat; menghadang budaya hedonis yang merusak kehidupan; atau menyelamatkan umat dari ideologi sesat sekulerisme, pluralisme dan liberalisme.

Sehingga dibutuhkan sebuah Institusi yang bertujuan adanya satu komando dalam beribadah (amrul imaami yarfa’ul khilafa: perintah Imam/Khalifah menghilangkan perbedaan), menyatukan seluruh negeri-negeri kaum muslimin yang tersebar lebih dari 50 negara, menjalankan syari’at Islam secara kaaffah dalam mengatur kehidupan bermasyarakat dan bernegara, memiliki izzah atas penghinaan musuh-musuh Islam, serta menyebarkan cahaya Islam ke seluruh dunia melalui da’wah dan jihad.

Wallahua’lam

Maraji’:

1. Fiqih Sunnah (fiqhus sunnah), Sayyid Sabiq, Pena Pundi Aksara, cetakan 3, Januari 2008.

2. Puasa Menurut Empat Mazhab (al-fiqh ’ala al-madzahib al-arba’ah), Abdurrahman Al-Jaziri, Penerbit Lentera, cetakan 3, November 1998.

3. Menyelami Makna Hadits Ramadhan (syarh ahadits ash shiyam), Nadhim bin Muhammad bin Sulthan al-Misbah, Al-I’tishom Cahaya Umat, cetakan 1, Oktober 2003.

4. Mafahim Islamiyah, Muhammad Husain Abdullah, Al-Izzah, cetakan 1, Februari 2003